counters

Jumat, 10 Agustus 2012

HIDUP YANG TAK PENUH



Apa konsekuensinya kalau kita menjalani kehidupan hanya berdasarkan hasil refleksi ungkapan orang lain atas diri kita, ketimbang menemukan dan mengolah keotentikandiri sendiri ?

Sebutir telur rajawali ditetaskan bersama-sama dengan telur ayam kampung. Setelah menetas, rajawali kecil tersebut hidup bersama anak-anak ayam kampung. Seperti layaknya hewan piaraan, mereka berkeliaran di kebun, parit-parit sekitar rumah, mencari cacing, ulat dan sisa-sisa makanan. Sama seperti “saudara-saudaranya” yang lain, rajawali kecil itupun tidak bisa terbang . Paling-paling hanya meloncat-loncat kecil. Yang jelas, kehidupan para unggas itu berjalan tenteram dan damai sampai akhirnya sang rajawali menjadi tua. Suatu siang ketika sedang mencari makan di kebun, matanya tertumbuk pada pemandangan indah di udara. Tampak olehnya seekor burung gagah perkasa terbang di antara pepohonan. Sayapnya yang berwarna keemasan mengepak-ngepak dengan indahnya.

“Hewan apakah itu ?” Saudaranya sesama ayam menjawab, “Oh, itu rajawali, si ‘Raja Burung’,” ujarnya.
“Tapi tempatnya nun jauh di atas kita. Kita sih kaum ayam, bisanya ya cuma begini ceker-ceker di tanah.” Si Rajawali kembali mencari cacing di tanah. Sampai mati ia tak pernah menyadari, dirinya bukan ayam kampung.

Inilah hidup. Pantas kalau W. Hugh Auden dalam kumpulan essainya The Dyers Hand (1962) mengatakan, image diri yang kuciptakan dalam pikiran supaya aku bisa mencintai diriku sendiri, ternyata berbeda dengan image yang kuciptakan dalam pikiran orang lain, agar mereka mencintaiku.

Tidak ada komentar: