counters

Kamis, 09 Agustus 2012

Dampak Dari Kejahatan dalam Peradilan



وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًۭا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 188).

Peringatan Allah ini seharusnya selalu dipikirkan oleh siapa pun yang bersengketa di pengadilan. Sebab, mereka yang memakai suap, tekanan penguasa atau massa, kemampuan bersilat lidah, atau memperalat dalil dan aturan hukum guna memperdaya hakim dan lawan sengketa, akan diazab di akhirat. Nabi Muhammad SAW bersabda: ''Siapa pun yang merampas tanah orang lain secara zalim, walaupun hanya sejengkal, maka Allah akan mengalunginya kelak di hari kiamat dengan tujuh lapis bumi.'' (Hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim).

Jika perampasan sejengkal tanah saja disiksa sedemikian pedih, lantas bagaimana dengan yang merampas hak milik ratusan atau ribuan orang, bahkan nyawa mereka, lewat keputusan/penetapan pengadilan? Sayangnya, banyak manusia tidak menjadikan keimanan sebagai pemimpin dan kaidah berpikir. Mereka lebih memilih membeli kenikmatan sesaat dengan menjual kebahagiaan abadi.

Selain itu, sistem sekuler-kapitalis yang menuhankan materi, kekuasaan dan kemenangan fisik mendorong banyak orang berkuasa dan berharta untuk melakukan segala cara. Apalagi, hukum yang ada tidak memberi peluang pengoreksian kesalahan proses peradilan yang disengaja aparat berwenang, kecuali sebatas pemberian sanksi administratif.

Maka, kala ulama, tokoh masyarakat dan militer, pers, dan rakyat cenderung mendiamkan atau takut terhadap mafia peradilan, kian beranilah mereka mempraktikkan kezaliman. Kian lama kian luas kerusakan, hingga sesuatu yang tidak masuk akal pun terjadi, seperti menyita aset-aset orang yang dituduh mencemarkan nama baik, memaksa memvonis orang tanpa bukti yang sah dan meyakinkan, mengadili orang miskin karena dituduh mencuri sandal bolong, dan lain-lain.

Dikhawatirkan, hal ini menyeret makin banyak orang untuk berlaku serupa hingga akhirnya timbul opini umum bahwa praktik mafia peradilan adalah hal biasa, dan harus dikerjakan agar menang di pengadilan. Ini mirip wabah korupsi.
وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا۟ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا ٱلْقَوْلُ فَدَمَّرْنَٰهَا تَدْمِيرًۭا
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (lihat QS Al-Israa, 17:16).

Jelaslah, praktik mafia peradilan tak cuma berakibat buruk bagi pelaku dan korbannya, tapi semua orang, baik di dunia maupun akhirat.

Dari Fakir Menjadi Kafir
Suatu hari, Abdullah bin Mubarak, seorang perawi hadis dari kalangan tabiin, melakukan perjalanan haji bersama kafilah dari negerinya. Di sebuah pasar di Irak, karena lelah terpaksa ia berpisah dari kafilahnya untuk berhenti dan istirahat sejenak.

Di pasar itu, ada kejadian yang sangat mengusik perasaannya. Seorang perempuan dengan menggendong bayinya yang masih kecil, terlihat memungut bangkai burung. Abdullah langsung mendekati si perempuan dan bertanya, ''Wahai Ibu, akan engkau apakan bangkai itu?''

''Aku akan memasaknya, untuk kemudian kami santap,'' jawab perempuan itu. Betapa terkejut Abdullah. ''Tidakkah engkau tahu, bangkai haram dimakan?'' ''Anda benar. Bangkai haram dimakan. Namun, bagi manusia seperti saya, yang tak mempunyai sesuatu pun untuk dimakan, maka yang haram menjadi halal.''

Jawaban perempuan itu sungguh mengiris hati Abdullah, sehingga ia meneteskan air mata. Diceritakan, semua bekal hajinya ia serahkan kepada perempuan miskin itu. Abdullah kemudian bekerja beberapa hari di pasar tersebut, untuk memperoleh bekal sekadarnya buat perjalanan pulang ke kampungnya. Ia batal menunaikan ibadah haji.

Kasus Abdullah bin Mubarak barangkali tidak berbeda dengan yang kita lihat di zaman kini. Ribuan Muslim kaya menunaikan ibadah haji atau umrah saban tahun, sementara di sekeliling mereka banyak orang miskin dan lapar. Untuk bertahan hidup, ada di antara mereka yang mengemis, mengais sisa makan, atau bahkan berbuat kriminal. Dan, mereka melakukan itu semua bukan karena pilihan hidup, yang didasarkan pada persepsi hati nurani, tapi karena disudutkan kenyataan: mereka sedemikian miskin sehingga harus susah-payah untuk mencari makan.

Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Kada al-faqru an yakuna kufran (hampir saja kefakiran menjadikan kekufuran).'' Hadis ini bisa kita apresiasi dalam dua sudut pandang. Pertama, kebahasaan. Di sini Nabi SAW seolah sedang menunjukkan sebuah permainan bahasa yang berkaitan dengan filosofi keserumpunan suatu kata. Faqr hanya memerlukan dua langkah untuk menjadi kufr. Langkah pertama, huruf fa dan qaf berganti posisi, lalu langkah kedua, gantilah qaf dengan kaf, jadilah ia kafr atau kufr.

Kedua, makna. Bertolak dari logika kebahasaan tersebut, kita akan mendapati sebuah makna sepintas yang menggelitik bahwa menjadikan kefakiran sebagai kekafiran bukan hal yang susah (sebagaimana halnya proses transformasi dari faqr ke kufr yang hanya butuh dua langkah). Artinya, kemiskinan yang dialami seseorang sangat berpotensi menggiringnya pada kufur (kafir), baik kufur dalam makna terminologis, yakni keluar dari Islam alias murtad, maupun kufur dalam makna generik, yakni sikap atau tindakan mengingkari dan menentang kebenaran.

Sampai di sinilah kita sampai pada pemahaman bahwa alih-alih melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti menyantap bangkai, bertindak kriminal, bahkan murtad pun barangkali merupakan pilihan yang bisa dimaklumi ketika seseorang dihimpit oleh kemiskinan yang dahsyat (faqr). Karena, sekali lagi, bukanlah semata-mata salah mereka jika harus menjatuhkan pilihan pada kufr (mengingkari kebenaran, murtad). Kesalahan ada pada kita, khususnya para Muslim kaya, yang kurang tergerak hatinya untuk peduli pada kesejahteraan mereka.

Tidak ada komentar: